Riil Fiksi

Temui Aku di Sini

Surat Tua Pemberi Melati Cerpen Ali Mukoddas

Perempuan itu duduk di kursi dekat jendela kayu yang sedikit terbuka. Rembulan tampak temaram di balik jendela itu. Beberapa senggukan tangis terdengar memecah kesunyian. Sepasang mata memandang sendu lingkaran kuning yang bergelantung di balik awan.

“Mengapa sekarang, mengapa sekarang.” Berkali-kali perempuan itu bergumam. Tangan kanannya gemetar memegang selembar kertas. Sepasang mata itu basah, membiarkan buliran bening menghujam kertas itu. Beberapa kenangan melintas, membuatnya sesak. Bahunya berguncang. Mendekap mulut serapat mungkin, takut suaranya membangunkan lelaki yang tidur di belakangnya.

Satu jam berlalu, rasa itu dapat ia kendalikan. Kembali memandang lingkaran kuning yang tergantung di balik awan. Matanya kosong. Otaknya berpikir keras untuk memahami isi kertas itu, hal yang membuat ingatannya kembali, berkelebat menuju tahun 2005, tahun saat lagu topeng milik Peterpan bertebaran di mana-mana; di pematang sawah saat anak-anak berangkat sekolah, di kelas, di warung-warung pojokan. Tahun itu pula saat ia masih gadis berpenampilan sederhana, tanpa mekup, kulit gelap. Jelek.

“Ya Allah, buatlah hambamu ini cantik. Hamba ingin seperti mereka dengan kulit putih bersih. Bukan seperti ini,” doanya di malam itu, malam saat ia menemukan rasa berbeda sepulang dari sekolah di kota kecamatan. Malam itu ia benar-benar meratap. Bagaimana tidak, telah berbagai resep kecantikan ia ikuti, dari buku sepuluh langkah menjadi cantik, ramuan penghalus kulit, tapi tetap saja.

Semua berlalu begitu cepat. Sebulan kemudian dari malam saat ia menengadahkan tangan ke langit, keinginan itu seketika lenyap. Peduli amat dengan kulit gelap. Buku panduan kecantikan pun ia tinggalkan, menggantinya dengan buku seribu cara memikat laki-laki. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Ya, hari-hari di sekolah ia habiskan dengan mengikuti panduan buku itu. Dari bab pertama, cara memikat dengan pandangan ia coba. Tapi tidak sampai, ia sendiri tahu pandangan itu hanya akan membuat perasaan itu tidak suci, lagi pula itu tidak diperbolehkan oleh agama. Maka terlewatilah panduan pertama itu, beralih pada bab berikutnya, memikat laki-laki dengan mengambil perhatiannya. Hari itu ia benar-benar bisa melakukan hal itu. Mundar-mandir di hadapan pemuda yang membuatnya merasa berbeda. Pemuda itu memanggil namanya, panggilan yang membuat wajahnya merah padam.

“Dia tahu namaku?” bisiknya pelan sebelum menoleh. Mengibaskan kerudung putih yang membuat kulit gelapnya tampak kontras.

Sungguh tanggapan yang aneh. Pemuda itu memanggilnya bukan karena menaruh perhatian, melainkan karena mondar-mandirnya yang merusak pemandangan, ia malah merasa senang dengan teguran itu. Bab dua berhasil dengan baik, walau tidak benar-benar baik, umpatnya.

Tak perduli tanggapan teman kelasnya yang mengatakan, “tidak mungkin orang jelek gelap kumal sepertinya membuat pemuda tertampan di sekolah itu menaruh perhatian”, ia dianggap mengada-ngada. Perkataan itu tidak membuatnya bergeser sedikit pun. Bab selanjutnya ia buka, mereka-reka rencana besok lusa. Bab tiga menarik perhatian dengan menyukai apa yang disukai.

Pagi. Sekolah sepi. Ia sengaja datang pagi-pagi sekali. Berlari ke lapangan basket. Di sana pemuda itu berada. Ia menghampirinya, belum beberapa langkah keinginan itu urung. Kesadarannya kembali. Ia tahu, mendekati seseorang yang bukan mahramnya itu dilarang oleh agama. Tak ada yang dapat ia lakukan selain menontonnya membawa bola, melemparnya ke keranjang basket. Itu saja.

Buku panduan ia buka. Mencoret halaman bab tiga. Mulai membaca bab selanjutnya. Saat itulah sebuah bola melayang, berdebam menghantam kepalanya. Ia tak sadarkan diri. Pemuda itu berlari, menghampirinya dengan perasaan was-was. Dibawalah ia ke ruang kesehatan sekolah, lantas pemuda itu pergi, menyuruh temannya yang menjaga.

Hari itu berjalan melelahkan baginya. Beberapa kali mengumpat, mengapa ia yang menjaga, bukan pemuda itu! Ia tidak tahu perihal yang terjadi, yang ia tahu pemuda itu tidak menghiraukannya. Membiarkan orang lain yang menolong, padahal ia yang melempar bola. Hatinya benar-benar berkecamuk oleh kegelisahan. Apakah lelaki hanya suka pada penampilan luar saja? Apa benar rupa itu penting? Tapi tidak, hatinya tidak akan luluh karena masalah itu. Satu hari dari kejadian itu sekolah mengadakan lomba menyanyi. Menyadari suaranya tidak kalah merdu dari pelajar lainnya, ia didaftarkan sebagai delegasi kelas. Semua mendukung. Dengan terpaksa ia pun menuruti keinginan pendukungnya. Dan sampailah hari itu. Seperti kontestan lainnya, ia juga dihias. Betapa terkejutnya berpasang-pasang mata saat melihat penampilannya. Bagaimana tidak, kulit gelap yang membuatnya tampak jelek menjadi cerah seketika. Ia menjadi yang tercantik. Menyadari hal itu, ia memang tidak pernah mencoba merias diri. Baginya memakai kosmetik adalah hal yang menyusahkan. Tapi lihatlah, saat itu ia benar-benar berubah.

Penampilannya cukup memukau, membuat sesak halaman depan panggung. Saat itu matanya berpendar-pendar, menyapu setiap wajah yang ada—mencari pemuda itu, tak ada. Hatinya gundah tapi tidak dengan senyum yang selalu mengembang, menyapa setiap teman yang melambaikan tangan ke arahnya. Siang itu pula lomba berakhir membuat kegembiraan tersendiri. Ia menjadi juara dua, dan saat itulah pemuda tersebut datang mengucap selamat seraya mengulurkan sesuatu.

“Ini untukmu, dari temanku.” Pemuda itu menyodorkan setangkai melati. Lantas membalikkan badan pergi tanpa suara.

Apa yang dikatakan pemuda itu sangat mengecewakan hatinya. Tapi tidak, ia senang karena yang mengantarkan bunga itu adalah dirinya, tak penting itu dari siapa. Sepanjang malam bunga pemberian pemuda itu ia pandangi, melihatnya bagaikan melihat pemuda itu. Tersenyum sendiri, lantas tertidur bersama benda indah itu.

Tak ada yang tahu sampai di mana perjuangannya untuk mempertahankan rasa itu. Kadang godaan ayahnya membuat ia getir. Ayahnya mau tahu saja, melihat ia senyum-senyum sendiri memandangi bunga melati, digoda.

“Bunga dari pacar. Paling juga cinta monyet.”

Ia pun tak menggubris godaan itu. Mana ada monyet pacaran?

Ia tak mau tahu soal itu, malah bertanya enteng, “memang bagaimana caranya menjauhi cinta monyet?”

Yang ditanya nyengir, berkata, “cobalah mencintai kucing atau kelinci”. Itu saja, tak lebih. Jawaban yang membuatnya memonyongkan bibir.

Saat senggang ia biasa mempelajari buku panduan, sudah sampai bab lima. Bab empat tanpa ia sadari telah berhasil. Memikat perhatian laki-laki dengan membuatnya kagum. Bab tiga? Hal yang membuatnya tak sadarkan diri di ujung lapangan basket memberinya harapan. Ia menuntut pemuda itu untuk membiarkannya bergabung dengan tim basket putri. Hal itu mudah saja bagi pemuda itu. Tim putri antusias menerimanya. Bagaimana tidak, timnya kedatangan gadis tercantik di sekolah itu.

Sejauh itu semua berjalan baik. Tak ada masalah hingga kenaikan kelas. Dua tahun berjalan tanpa ada perkembangan yang ia dapat, selain mengenalnya lebih dekat. Buku panduan itu hampir ia tinggalkan di tengah perjalanan—menyadari semua usahanya sia-sia. Ada jarak yang harus dijaga, hal itu membuatnya tak pernah sampai untuk mengungkapkan segalanya, selain memberi isyarat tubuh dan tindakan bahwa ia berharap sesuatu dari pemuda itu. Tapi yang diharap seperti orang bodoh. Pemuda itu tidak pernah mengerti.

Pagi itu semua bab hampir terjejali. Hampir sempurna. Pemuda itu saja yang tidak mau mengerti. Acuh tak acuh mendapati ia memandang dirinya. Tak ada respon apa-apa.

Gadis itu menghela napas panjang. Memasuki bab terakhir, harapan terakhirnya. Mengungkapkan semua perjuangannya yang sia-sia. Sebenarnya bab itu tidak tertera dalam buku tersebut. Sepuluh bab benar-benar tak berguna. Sudah memasuki kelas akhir.

Hari itu, saat selesai ujian yang tinggal menunggu pengumuman kelulusan, tekadnya benar-benar bulat. Lupakan larangan tidak boleh mendekati lelaki yang bukan mahram. Rasa itu benar-benar buncah.

Lorong jalan menuju kelas lengang. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua, masih tetap menjaga jarak. Gadis itu beberapa kali menarik napas panjang. Cukup gugup.

“Ada satu hal yang ingin aku bicarakan,” perkataannya terhenti, menelan ludah seraya mengatur diri setenang mungkin. “Semua cara telah kulakukan, berusaha sekeras, mungkin menjadi yang terbaik, mengerjakan apa yang tak kubisa, memenangkan pertangdingan basket, menjadi mayoret drumband, mempelajarinya sampai sinting, bertingkah sebaik mungkin dan seindah mungkin.” Ia menghirup napas, menjeda perkataannya yang panjang tanpa jeda.

“Semua itu kulakukan untukmu. Aku cinta kamu. Sebenarnya amat sulit untuk mengungkapkan semua ini. Berusaha melenyapkan rasa gengsi tentang persepsi perempuan tidak seharusnya mengungkapkan hal itu duluan. Aku tak perduli itu. Sebab aku benar-benar mencintaimu.”

Buncah sudah. Perasaannya yang berkecamuk terasa lega setelah selesai mengungkapkan semuanya secara sempurna. Pemuda itu benar-benar bungkam. Tak dapat berkata apa-apa.

Sebuah suara melesat, memanggil nama pemuda itu. Seorang perempuan mendekati mereka. Menarik tangan pemuda itu. Pemuda itu pergi tanpa sepatah kata pun. Sempat menoleh sebelum benar-benar lenyap di belokan lorong.

Ia benar-benar terpaku melihat pemuda itu, pergi tanpa jawaban apa-apa. Pemuda itu telah memiliki pasangan. Pengorbanannya benar-benar sia-sia. Gadis itu tersungkur. Menahan tangis, tapi tidak dengan matanya yang dengan paksa menjatuhkan air mata. Perasaannya kacau, sama dengan apa yang sekarang ia rasakan.

***

“Mengapa sekarang...”

Perkataan itu benar-benar mengiris hatinya, perkataan yang sama saat ia mengetahui pemuda itu memiliki pasangan, meninggalkannya tanpa sepatah kata.

“Mengapa selama ini?”

Berkali-kali ia bergumam. Melihat lamat-lamat angka 24 dan 2008 di kertas yang ia pegang. Matanya yang sembab kembali menyapu deretan kalimat yang ada. Membacanya kembali.

“24 Desember 2008. Kusuma. Semoga kau dapat membaca surat ini dengan lengkap. Dan semoga saja aku tidak terlambat. Perlu kau tahu, sebenarnya kau telah berhasil dari bab pertama. Maaf karena aku telah membaca buku panduan yang selalu kau pegang itu, buku dengan sampul putih polos agar tak terbaca judulnya. Buku itu sengaja kubuka. Aku penasaran melihatmu yang ke mana-mana membawanya. Rasa penasaran itu terbayar saat kau tak sadarkan diri karena bola basket lemparanku. Maafkan aku karena sampai saat ini belum sempat mengucapkan kata maaf perihal kejadian itu. Mengingat kejadian yang telah kita lalui membuatku selalu tersenyum. Melihat kelucuanmu melempar tongkat yang tak pernah mendarat mulus di tangan, caramu memantulkan bola basket, loncat-loncat kegirangan saat lemparan berhasil masuk keranjang basket. Aku selalu memperhatikanmu.

Amat sulit untuk mendekatimu. Sadar diriku yang terperangkap dalam janji, perjanjian yang konyol. Ya, benar-benar konyol. Bagaimana tidak? Aku dan Andre—sahabat baikku sejak TK—bersepakat tidak akan mencintai perempuan yang sama. Aku tak ingin melanggar janji itu, demi persahabatan kami.

Aku bisa saja mengungkapkan semua perasaan sukaku padamu. Tapi setiap kucoba selalu berakhir mengecewakan. Contohnya saja saat kusodorkan setangkai melati padamu. Aku malah mengatakan itu bunga dari Andre sebagai ucapan selamat atas kemenangan yang kau dapat, lantas memalingkan diri dengan rasa kacau. Juga saat membawamu ke ruang kesehatan saat kau tak sadarkan diri itu, aku malah membiarkan Andre yang menjaga. Menyadari Andre menyukaimu dan janji kami.

Selama tiga tahun kupendam rasa itu, hanya dapat tersenyum saat mendapatimu tertawa. Kalau ditanya siapa yang paling bahagia saat kau memenangkan pertandingan basket se-Jawa Timur di hari itu? Adalah aku. Kalau ditanya siapa yang paling antusias melihat penampilanmu menjadi mayoret di festival sekolah? Itu aku. Dan kalau ditanya siapa yang paling sakit hati melihatmu bersedih? Itu juga aku. Aku selalu bangga dengan prestasi yang kau dapat. Dan kesalahpahaman di hari kelulusan itu akan kujelaskan. Warda bukan siapa-siapaku, pacar juga bukan. Kami hanya teman. Maafkan aku karena tidak mengiyakan ungkapan cintamu. Sebenarnya aku ingin menghambur diri memelukmu, tapi aku sadar kau tak mungkin terima perlakuan itu. Bagai orang bodoh yang tak bisa menjawab soal aljabar yang diberikan guru di kelas, aku hanya terpaku. Aku pergi tanpa memperdulikanmu yang tak bergerak melihatku pergi bersama Warda. Bodohnya aku tidak menolak ajakannya, membiarkan tanganku diseretnya ke kerumunan teman-teman yang lain.

Sejak hari itu aku benar-benar tak dapat menemuimu untuk menjelaskan semuanya. Dan saat ini aku dapat menulisnya. Maaf karena tak ada kabar di hari pemberangkatanku. Hari itu penerbangan ke Singapura mendadak. Ayah tidak memberi kabar kami akan pindah hari itu.

Semoga kau baik-baik di sana. Salam. Dilimun.”

Perempuan itu melipat kertas yang tadi dibacanya. Memandang langit-langit ruangan. Menahan air mata yang tak dapat ia bendung. Hatinya berkecamuk dengan rasa marah. Memandang datar lelaki yang tidur pulas di belakangnya, lelaki yang telah menyembunyikan surat itu.[]

Sumenep, 19 April 2015.

Bedanya Main dan Menggunakan Media Sosial

Bedanya Main dan Menggunakan Media Sosial

Saat tidak paham ingin menggunakan media sosial sebagai apa, jadilah hal yang diposting seperti anak kecil yang baru pertama kali bermain di sebuah taman.

Satu orang menggunakan berbagai media sosial, kira-kira akan sesibuk apakah orang tersebut?

Menggunakan media sosial tanpa tujuan yang jelas, ibarat Speed Boat di tengah lautan yang kehabisan bahan bakar di malam hari dengan awan mendung. Tidak hanya kehilangan arah, boat hanya bisa mengikuti arus seperti kompas yang rusak.

Begini, ada seseorang menggunakan Telegram, WA dan Instagram, karena pekerjaannya sering mengharuskan orang itu menggunakan media sosial tersebut. Seperti orderan yang sering datang lewat WA, atau pengiriman file yang harus lewat Telegram, atau pula pesan yang datang dari orang yang kenalnya hanya lewat Instagram.

Tentu beda sekali dengan orang yang segala aktivitas serta komunikasinya hanya melalui WA. Bila orang tersebut aktif sekali di akun IG dan aktif pula di Telegram, bisa dipastikan orang tersebut sedang bermain. Orang tersebut bisa dibilang bermain media sosial, bukan pengguna. Tahu, bukan, perbedaan main dengan menggunakan?

Namanya orang main, kadang kejauhan. Tak jarang bila scroll terlalu lama, tahu-tahu sudah sampai di server negara lain. Komentar-komentar di suatu konten sudah menggunakan bahasa asing. Mari, waktunya kembali.

Media sosial, di tengah kehidupan yang lebih banyak santai dibanding ngototnya, akan menjadi salah satu penyebab kemalasan dan terbengkalainya beberapa pekerjaan enteng yang bisa diselesaikan dalam waktu setengah hari.

"Lain kali, tentukan, apakah mau bermain media sosial atau menggunakan media sosial, agar orang terdekat yang sedang butuh tidak terlalu susah untuk mencari. Mencari pengguna dengan mencari pemain itu beda jalur cara menemukannya. Saat mencari pengguna, dia akan menjawab saat dipanggil. Tapi saat mencari pemain, kau harus menjewer daun telinganya agar dia bisa kembali dari dunia lain," begitu ungkap Santo.

Kenapa Palestina Tidak Kunjung Merdeka?



Banyak orang yang ingin dan bahkan selalu berdoa agar Palestina segera merdeka atau menang atas perang melawan Israel. Banyak pula yang mengirimkan bantuan dalam bentuk segala macam, meski pada akhirnya dibumihanguskan. Banyak yang berharap kedamaian di Palestina, tapi dari banyaknya pendukung tersebut, mereka sebetulnya berada dalam kebingungan dan keraguan.
Sebagian orang percaya bahwa kiamat akan datang setelah Palestina merdeka. Jadi meski ingin melawan musuh Palestina, dalam hati kecil mereka, mereka takut akan datangnya kiamat. Dan barangkali, orang yang selalu mendukung untuk penyerangan dan penghancuran Palestin, juga karena takut akan datangnya kiamat, dengan perang yang terus berlanjut, maka kiamat makin jauh. Hampir tak ada bedanya.

Menurut pandangan pesimis saya, kepercayaan bahwa "kiamat terjadi bila Palestin damai/merdeka" karena saking mustahilnya kedamaian terjadi di tanah itu. Barangkali ceritanya begini: di suatu masa ada orang yang mencomo'oh, "wah bakal kiamat kalau Palestin menang dari Israel," karena tahu apa yang diperebutkan di tanah itu.

Sisanya, yang membuat pesimis itu berlanjut, "masa doa dari umat Islam seluruh dunia atas kedamaian tanah Palestin tidak ada yang terkabul?" Dan, "bukankah mereka yang beragama yakin akan adanya Tuhan, kekuasaan Tuhan, kehendak-Nya, dan kemahatahuan-Nya?"

Lalu kenapa Palestin tetap seperti itu? Puluhan tahun? Apa yang kurang tepat? Doa yang tidak makbul? Sudah berapa orang yang berdoa di Masjidil Haram, di bawah Ka'bah? Yang katanya doa-doa sangat cepat meluncur terkabul?

Dan pesimis saya yang terakhir, Tuhan sedang tersenyum manis. Bukankah orang-orang yang mati dalam perang di tanah tersebut menuju surga? Jangan-jangan Tuhan sedang mengumpulkan penduduk surga dari tanah tersebut. Kita mana tahu? Nah, "kita mana tahu" ini yang membuat saya Optimis.

Presiden 2024 Perlu Menteri Kemiskinan

Potret Kemiskinan


Dalam menata negara, presiden perlu menteri-menteri untuk mengurus beberapa kerjaan sesuai bidang yang dibutuhkan. Karena Indonesia memiliki banyak hutan, perlu menteri perhutanan. Karena Indonesia memiliki laut yang cukup luas, perlulah menteri kelautan, dan karena banyak ikan yang perlu diurus, ditambahlah perikanan, hingga menjadi "Menteri Kelautan dan Perikanan!" Dan banyak lagi menteri yang dibentuk untuk urusan yang serupa demikian. Hanya ada sesuatu yang luput. Sejauh ini belum ada menteri kemiskinan. Menteri kekayaan juga tidak ada. Karena urusan itu kadang diambil menteri keuangan. Padahal Indonesia memiliki banyak rakyat miskin dan rakyat kaya. Seharusnya ada menteri yang mengurusi mereka. Seperti karena banyak orang yang beragama, maka terbentuklah Kementrian Agama.

Soal kemiskinan, jangan-jangan, menteri kemiskinan terlalu menakutkan bagi pejabat, hingga disamarkan dalam sebutan menteri sosial. Menteri sosial pun yang diurus hanya soal kejadian yang ambigu, penuh topeng, dan hubungan yang tidak harmonis tapi sebetulnya harmonis. Terlalu spekulatif. Tapi, kemiskinan adalah sesuatu yang riil dan mencekik banyak orang. Tahulah bahwa, kemiskinan adalah dalang utama kerusakan moral sosial, politik, kehutanan dan seterusnya. Penting untuk dibuatkan Kementerian Kemiskinan, agar kementerian lain terkurangi bebannya. Sebab selama ini lembaga yang program kerjanya menyasar kemiskinan hanya menjadi proyek. Pun bagi-bagi sembako ke warga miskin tidak membawa dampak apa-apa, kecuali sebagai dokumentasi pelaporan untuk penghabisan anggaran. Lalu, kenapa demikian? Karena oh karena, kemiskinan masuk ke berbagai wilayah, mulai darat, udara hingga laut. Dia merusak berbagai hal. Kejahatan sering terjadi karena si miskin itu. Pun korupsi, penyelewengan, pembabatan hutan, dan banyak daftar negatif lainnya itu dilakukan oleh orang-orang miskin. Maka, sekiranya perlu sangat untuk mengadakan lembaga yang mengurus kemiskinan tersebut. Entah nanti diberi nama menteri kemiskinan atau menteri pemberantas kemiskinan, tak ada soal. Asal hal yang diurus murni dan fokus pada soal kemiskinan. Apakah menterinya nanti adalah orang yang betul-betul miskin agar lebih mendalami perannya atau tidak, itu urusan presiden yang mengangkatnya.

Landasan perlunya menteri kemiskinan agar fokus pada persoalan pengentasan kemiskinan, dan ini bisa masuk ke nomenklatur sesuai UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2): bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lalu Pasal 28 H: Menjamin setiap orang untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Dan yang paling penting, secara gamblang di Pasal 34 ayat (1) berbunyi, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Memang ada beberapa undang-undang yang menyertakan soal kemiskinan, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta masih ada regulasi-regulasi lain, kebijakan, program-program dari beberapa kementerian seperti Kementerian Sosial, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Lalu, apakah memungkinkan untuk membentuk suatu lembaga seperti Kementerian Kemiskinan ini? Tentu mungkin sekali, agar fokus pada pengentasan kemiskinan, pelatihan keterampilan akses layanan kesehatan, pendidikan pembangunan ekonomi, dll.

Melalui kementerian ini, nanti bisa berkoordinasi dalam program kemiskinan dengan kementerian lain yang bertujuan atau beririsan soal mengurangi kemiskinan. Atau, atau ini, ya, sebagai lembaga pemantauan dan evaluasi seberapa evektif program yang dilaksanakan.

Namun demikian, apakah akan ada yang berani bertindak sebagai orang yang paham soal kemiskinan?

Iblis Kecil dalam Diri Lelaki




Setiap orang memiliki iblis kecil dalam dirinya. Namun dalam diri seorang lelaki, iblis itu seperti binatang buas. Sebagaimana binatang buas, tak peduli binatang buasnya itu kecil atau besar, dia tetap berbahaya untuk dibiarkan berkeliaran.

Terkadang, untuk membedakan identitas seseorang, bisa dilihat dari seberapa pintar orang tersebut membuat kandang untuk binatang buas tersebut. Seberapa piawai dan kuat tali kekang saat binatang buas yang kecil atau besar itu diajak jalan-jalan. Sebaliknya, ada kalanya tali kekang dari binatang buas tersebut putus. Si pemilik abai. Dia merasa, tali yang terbuat dari besi tidak akan mudah putus, meski berkarat. Atau ada yang mengajak jalan-jalan binatang buasnya, tapi tanpa tali pengekang, jadilah melumat segala macam yang menggiurkan di lidahnya.

Aku tidak tahu seberapa keras atau mudahnya memelihara iblis berupa binatang buas yang kecil itu. Tapi, bukankah juga akan kurang baik bila si buas itu dikurung terus-menerus? Bukankah itu akan membuatnya frustasi dan memiliki banyak dendam tersembunyi?

Puisi yang Sulit Dibuat

Saat kau bilang, "mana puisi untukku?" Puisi yang khusus untukmu? Hingga detik ini, sulit bagiku untuk menuliskan kata-kata yang pantas untukmu. Ini terkesan seperti mengada-ada, tapi suatu ungkapan tidak ada apa-apanya tanpa kenyataan yang tidak bisa disentuh. Ingin sekali kurangkai kalimat yang bisa menyentuh hatimu, serta kalimat itu juga bisa menyentuh hatiku, hingga ada keselarasan yang membuat kita terikat, tersambung meski jarak dan waktu berongga.


Puisi menjadi sulit dibuat bila berkaitan dengan kenyataan yang amat sakral. Kesakralan tersebut membuat hati enggan untuk mengarang atau memolesnya sedemikian rupa, sebab hal itu akan menghilangkan kemurniannya. Lebih baik kemurnian tersebut tidak tertuang dalam bentuk tulisan, agar perasaannya tetap sama, tidak tertimbun oleh hiasan yang semu. "Aku bukanlah orang yang pandai merias."

Segala sesuatu yang dimiliki, termasuk puisi, perlu pertanggungjawaban. Semakin banyak yang dimiliki, semakin berat juga tanggungjawabnya. Dari pemikiran sederhana itulah barangkali, diri menjadi lumayan malas agar tanggungjawab terkurangi. 

Alasan Takut Mati

Banyak hal yang membuat seseorang takut untuk mati. Memang kematian adalah batas usia manusia, yang kedatangannya tidak pasti tapi pasti akan datang. Manusia cenderung akan takut mati bila diketahui akan mati kapan dan hari apa, seperti orang yang akan dieksekusi mati dalam waktu dekat. Meski sebagian yang lain akan sangat yakin untuk menghadapi kematiannya sebab sudah tahu hari di mana dia akan mati. Namun kebanyakan orang tidak merasakan khawatir soal mati bila tidak tahu kapan kematiannya, seperti tiba-tiba kecelakaan, terkena serangan jantung, keracunan, atau terkena penyakit yang menyebabkan koma panjang kemudian mati dalam waktu koma. Hanya saja, kita tidak bisa memilih waktu untuk mati.

Kebanyakan orang takut untuk mati sebab memiliki banyak penyesalan dan beberapa hal yang diinginkan belum tercapai. Seperti seorang tua yang menderita, takut mati sebab masih ada bayi yang berat untuk ditinggalkannya. Sebaliknya, ada orang yang sudah siap untuk mati sebab merasa hidupnya sudah cukup sampai situ saja, seluruh keinginannya terlaksana, dan tujuan hidupnya tercapai. Ada orang yang mati muda, karena tujuannya sudah selesai pada usia itu. Namun, bukankah sangat menyakitkan bila kita ingin hidup panjang, sedangkan kita akan sering dihadapkan dengan kehilangan, ditinggal teman sebaya karena usia dan menyaksikan perpindahan zaman yang sudah bukan lagi zaman di mana kita lahir? Semua akan asing, dan pada akhirnya kematianlah yang menjadi pilihan untuk mengakhiri pengasingan tersebut.

Manusia bisa menangis, barangkali karena tidak ada tawa yang bisa disyukuri. Dan ada pula manusia yang hanya bisa tersenyum, sebab kematian tak lebih adalah jalan untuk mengakhiri ketidakadilan dalam dirinya.



Back To Top